BAB tentang THAHARAH (BERSUCI)

BAB tentang THAHARAH (BERSUCI)

AIR DAN MACAM-MACAMNYA:

MACAM PERTAMA : AIR MUTLAK

Hukumnya ialah bahwa ia suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lainnya. Di dalamnya termasuk macam-macam air berikut:

1. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:

Artinya: —Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.“ (Al-Anfal: 11)

Dan firman-Nya: Artinya: —Dan Kami turunkan dan langit air yang suci lagi mensucikan.“ (Al-Furqan:48)

Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya: Adalah Rasulullah saw. bila membaca takbir di dalam sembahyang diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka saya tanyakan: Demi kedua orangtuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah? Rasulullah pun menjawab:

Artinya: Saya membaca: —Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau inenjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dan kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dan kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.“ (H.R. Jama‘ah kecuali Turmudzi)

2. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya: Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhu, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah. kami berwudhu dengan air laut? Berkatalah Rasulullah saw.:

Artinya: —Laut itu airnya suci lagi mensucikan(2), dan bangkainya halal dimakan.“ (Diriwayatkan oleh Yang Berlima)

Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu shahih.

3. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dan Ali r.a.: Artinya: Bahwa Rasulullah saw. meminta seember penuh dan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhu.“ (H.r. Ahmad)

4. Air yang berobah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Taala:

Artinya —Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayammumlah kamu!“ (Al-Maidah: 6)

MACAM KEDUA: AIR MUSTA‘MAL,Artinya air YANG TERPAKAI


Yaitu air yang telah terpisah dan anggota-anggota orang yang berwudhu dan mandi.

Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halnya air mutlak tanpa berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.

Juga karena hadits Rubaiyi‘ binti Mu‘awwidz sewaktu menerangkan cara wudhu Rasulullah saw. katanya: —Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudhu yang terdapat pada kedua tangannya.“

Juga dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah,. sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi saw.; ke mana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemaninya dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw.:

Artinya: —Maha Suci Allah, orang Mukmin itu tak mungkin najis.“

(H.R. Jama‘ah)

Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah karena di sana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci dengan yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.

Berkata Ibnul Mundzir: —Diriwayatkan dari Hasan, ”Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ”Atha‘, Makhul dan Nakha‘i bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air musta‘mal itu mensucikan, dan demikianlah pula pendapatku.“

Dan madzhab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi‘i, dan menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan As-Sauri, Abu Tsaur dan semua Ahli Zhahir.

MACAM KETIGA: AIR YANG BERCAMPUR DENGAN BARANG YANG SUCI


Misalnya dengan sabun, kiambang, tepung dan lain~1ain yang biasanya terpisah dari air.

Hukumnya tetap mensucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak mensucikan bagi lainnya.

Diterima dari Ummu ”Athiyah, katanya: Artinya: —Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah saw. ketika wafat puterinya, Zainab, lalu katanya: —Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika telah selesai beritahukanlah padaku.“ Maka setelah selesai, kami sampaikanlah kepada Nabi. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta katanya: —Balutkanlah pada rambutnya!" Maksudnya kainnya itu.

(H.R. Jama‘ah)

Sedang mayat tak boleh dimandikan kecuali dengan air yang sah untuk mensucikan orang yang hidup.

Dan menurut riwayat Ahmad, Nasa‘i dan Ibnu Khuzaimah dar hadits Ummu Hani‘, bahwa Nabi saw. mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang di dalamnya ada sisa tepung.

Jadi di dalam kedua hadits terdapat percampuran, hanya tidak sampai demikian rupa yang menyebabkannya tak dapat lagi disebut air mutlak.

MACAM KEEMPAT: AIR YANG BERNAJIS


Pada macam air ini terdapat dua keadaan: Pertama: bila najis itu merobah salah satu di antara rasa, warna atau baunya.

Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagai disampaikan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulqin.

Kedua: bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara sifatnya yang tiga tadi tidak berobah. Hukumnya ia adalah suci dan mensucikan, biar sedikit atau banyak.

Alasannya ialah hadits Abu Hurairah r.a katanya: Artinya: —Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw: —Biarlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keentengan/kemudahan, bukan untuk menyukarkan.“ (Hr. Jama‘ah kecuali Muslim)

Juga hadits Abu Sa‘id al-Khudri r.a. katanya

Artinya: —Dikatakan orang : Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhu dari telaga Budha'ah (3) Maka bersabdalah Nabi saw.: —Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan menajisinya.“

(H.r. Ahmad, Syafii, Abu Daud, Nasa‘i dan Turmudzi).

Turmudzi mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad berkata —Hadits telaga Budha'ah adalah shahih.“ Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma ”in dan Abu Muhammad bin Hazmin.

Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, ”Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakha‘i, Malik dan lain-lain.

Gazzali berkata : —Saya berharap kiranya madzhab Syafi‘i mengenai air, akan sama dengan madzhab Malik.“

Adapun hadits Abdullah bin Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: —Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah mengandung najis. —(H .r. Yang Berlima), maka ia adalah mudhtharib, artinya tidak keruan, baik sanad maupun matannya.

Berkata Ibnu ”Abdil Barr di dalam At-Tahmid. —Pendirian Syafi‘i mengenai hadits dua kulah, adalah madzhab yang lemah dan segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.“

Catatan:
(1) Adakalanya menurut hakikat sebenarnya seperti bersuci dengan air, atau menurut hukum seperti bersuci dengan tanah ketika bertayammum.
(2) Dalam jawabannya itu Rasulullah tidak mengatakan —ya,“ dengan tujuan untuk menyatakan illat atau alasan bagi hukum, yaitu kesucian seluas-luasnya; di samping itu ditambahnya keterangan mengenai hukum yang tidak ditanya agar lebih bermanfa‘at dan tersingkapnya hukum yang tidak ditanya itu, yaitu tentang halalnya bangkainya. Manfa‘at itu akan dirasakan sekali di sa‘at timbulnya kebutuhan akan hukum tersebut, dan ini merupakan suatu kebijaksanaan dalam berfatwa.
(3) Telaga Budha‘ah ialah telaga di Madinah. Berkata Abu Daud: —Saya dengar Qutaibah bin Sa‘id berkata: Saya tanyakan kepada penjaga telaga Budha‘ah berapa dalamnya. Jawabnya: Sebanyak-banyaknya air ialah setinggi pinggang. Saya tanyakan pula: —Bila di waktu kurang?“ —Di bawah aurat“ ujarnya. —Dan saya ukur sendiri telaga Budha‘ah itu dengan kainku yang kubentangkan di atasnya lalu saya hastai, maka ternyata lebarnya 6 hasta. Dan kepada orang yang telah membukakan bagiku pintu kebun dan membawaku ke dalam, saya tanyakan apakah bangunannya pernah dirombak, jawabnya: Tidak. Dan dalam sumur itu kelihatan air yang telah berobah warnanya.“

PENDAHULUAN MENGENAI RISALAH ISLAM, UNIVERSAL SERTA TUJUANNYA

PENDAHULUAN MENGENAI RISALAH ISLAM, yang UNIVERSAL SERTA TUJUANNYA


Allah swt. mengutus Nabi Muhammad saw. membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan, serta syariat yang lengkap dan meliputi, yang menjamin bagi manusia kehidupan bersih lagi mulia, dan menyampaikan mereka ke puncak ketinggian dan kesempurnaan.

Dan dalam tempo lebih kurang 23 tahun yang dilalui Rasulullah saw. dalam menyeru manusia kepada Allah, tercapailah olehnya tujuan yang dimaksud, yaitu menyebarkan agama dan menghimpun manusia untuk menganutnya.

UNIVERSALNYA RISALAH ISLAM:


RISALAH Islam bukanlah merupakan RISALAH setempat yang terbatas, yang khusus bagi suatu generasi atau suku-bangsa sebagai halnya risalah-RISALAH yang sebelumnya, tetapi ia adalah RISALAH yang UNIVERSAL yang mencakup seluruh umat manusia sampai akhirnya bumi dan segala isinya ini diambil kembali oleh Allah Ta‘ala.

Tiadalah ia tertentu bagi suatu kota, tidak bagi lainnya atau bagi suatu masa bukan bagi lainnya! Berfirman Allah swt.:

Artinya : —Maha Berkah Allah yang telah menurunkan Kitab Al-Furqan kepada hamba-Nya, agar ia menjadi juru nasehat bagi seluruh dunia.“ (Al-Furqan: 1)

Dan firman-Nya :

Artinya : —Tiadalah Kami mengutusmu, kecuali buat seluruh manusia menyampaikan berita gembira maupun siksa.“ (Saba‘ : 28)

Dan firman-Nya pula

Artinya : —Katakan : Hai manusia! Saya adalah utusan Allah kepada kamu semua, yaitu Tuhan Yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, yakni seorang Nabi yang ummi, yang beriman kepada AIIah dan kalimat-Nva. Dan ikutlah dia agar kamu beroleh petunjuk.“ (Al­A‘raf‘ : 158)

Dan di dalam sebuah hadits shahih tercantum :

Artinya :

—Setiap Nabi dikirim khusus kepada bangsanya, tetapi saya dikirim baik kepada bangsa berkulit merah maupun hitam.“

Di antara alasan-alasan yang membuktikan UNIVERSAL dan meliputinya RISALAH ini, ialah sebagai berikut :

I. Tidak dijumpai di dalamnya hal-hal yang sulit buat dipercaya, atau sukar melaksanakannya :

Firman Allah Ta‘ala

Artinya : —Allah tiada memberati diri kecuali sekedar kemampuannya.“ (Al-Baqarah: 286)

Dan Firman-Nya

Artinya : —Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran.“ (Al-Baqarah: 185)

Dan firman-Nya pula

Artinya : ”Tidakkah Allah mengadakan dalam agama itu suatu kesulitan pun.“ (Al-Haj 78)

Dan menurut riwayat Bukhari dan Abu Sa‘id al Maqburi bahwa Rasulullah bersabda :

Artinya : —Agama ini mudah, dan tidak seorang pun yang mempersulit-sulit agama, kecuali tentu akan dikalahkan oleh agama.“

Dan menurut riwayat Muslim yang berasal dan Nabi :

Artinya : ”Agama yang lebih disukai oleh Allah, ialah yang murni dan tidak sulit.“



2. Bahwa hal-hal yang tidak terpengaruh oleh perobahan tempat dan waktu, seperti soal-soal aqidah dan ibadah, diterangkan dengan sempurna dan secara terperinci dan dijelaskan dengan keterangan-keterangan lengkap hingga tak usah ditambah atau dikurangi lagi. Sementara hal-hal yang mengalami perobahan disebabkan perbedaan situasi atau kondisi, misalnya hal-hal yang menyangkut soal peradaban, urusan-urusan politik dan peperangan, datang secara global atau garis besarnya, agar dapat mengikuti kepentingan manusia di segala masa, dan dapat menjadi pedoman bagi para pemimpin dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

3. Semua ajaran yang terdapat di dalamnya, maksudnya tiada lain hanyalah buat menjaga agama, menjaga jiwa, akal, keturunan, maupun harta.

Dan tentu saja ini cocok dengan fitrah dan sesuai dengan akal, mengikuti perkembangan serta Iayak buat segala tempat dan waktu.

Firman Allah Ta‘ala

Artinya : ”Katakan Siapa berani mengharamkan perhiasan Allah yang disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, begitupun rezki yang baik-baik! Katakanlah : Itu adalah bagi orang-orang beriman sewaktu hidup di dunia, dan khusus bagi mereka di akhirat nanti. Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat bagi golongan yang mau mengetahui

Katakanlah : Yang diharamkan oleh Tuhanku hanyalah hal yang keji, baik lahir maupun batin, perbuatan dosa serta aniaya tanpa kebenaran, dan bila kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tiada dibeni-Nya kekuasaan, begitu pun bila kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.“ (Al-A‘raf: 32-33)

Dan firman-Nya pula Artinya :

—Dan rahmat-Ku meliputi segala apa juga, maka akan Kuberikan kepada orang yang takwa dan membayarkan zakat dan kepada orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. Yakni orang-orang yang mengikuti Rasul dan Nabi yang ummi yang dijumpainya tercantum dalam Kitab Taurat dan Injil, yang menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan mungkar, menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang jelek, serta membebaskan mereka dari beban dan belenggu yang mengungkung mereka.

Maka orang-orang yang beriman kepada-Nya, menyokong serta membelanya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya, merekalah orang yang berbahagia.“ (Al-A‘raf: 156-157)

TUJUANNYA :

Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh RISALAH Islam, malah membersihkan dan mensucikan jiwa, dengan jalan mengenal Allah serta beribadat kepada-Nya, dan mengokohkan hubungan antara manusia serta menegakkannya di atas dasar kasih-sayang, persamaan dan keadilan, hingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Firman Allah swt

Artinya : —Dialah yang telah membangkitkan di kalangan bangsa butahuruf seorang Rasul dari golongan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan mendidik mereka, serta mengajarkan Kitab dan ilmu hikmah, walau sebelum itu mereka dalam kesesatan yang nyata“ (Al­Jumu‘ah : 2)

Dan firman-Nya lagi

Artinya : ”Tiadalah Kami utus engkau hai Muhammad, hanyalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.“ (Al-Anbiya‘ : 107)

Juga tersebut dalam sebuah hadits

Artinya : —Aku merupakan rahmat yang dianugerahkan.“

ATURAN ISLAM ATAU FIKIH

Perundangan Islam merupakan salah satu dari segi-segi terpenting yang dikandung oleh RISALAH Islam dan mewakili bidang praktis dari RISALAH ini.

Perundangan mengenai agama semata, seperti hukum-hukum ibadat tiadalah terbit kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi saw. baik berupa Kitab atau Sunnah, atau hasil ijtihad yang disetujuinya.

Sedang tugas Rasul tiada keluar dan lingkaran tabligh dan penerangan.

Artinya : —Tiadalah ia bicara dari kemauan nafsunya. Al-Qur‘an itu tiada lain dari wahyu yang disampaikan kepadanya.“ (An-Najm : 3 dan 4)

Adapun perundangan yang menyangkut urusan-urusan keduniaan, baik berupa pengadilan, politik dan peperangan, maka Rasul disuruh untuk merundingkannya. Kadang-kadang ia mempunyai suatu pendapat, tapi menariknya kembali dan menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi di waktu perang Badar dan Uhud. Demikian pula para sahabat itu, mereka mendatangi Nabi saw. menanyakan padanya hal-hal yang tidak mereka ketahui, dan meminta penjelasan mengenai makna kata-kata yang tidak jelas, sambil mengemukakan pengertiannya menurut faham mereka sendiri.

Maka kadang-kadang Nabi menyetujui pengertian itu, dan kadang-kadang ditunjukkannya letak kesalahan pendapat itu.

Dan patokan-patokan umum yang telah diletakkan Islam guna menjadi pedoman bagi kaum Muslimin ialah

1. Melarang Membahas Peristiwa yang Belum Terjadi Sampai Ia Terjadi


Firman Allah ta‘ala

Artinya : —Hai orang-orang beriman! Janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa!

Tapi bila kamu menanyakan itu ketika turunnya Al-Qur‘an, tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.“

(Al-Maidah: 101)

Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi saw. telah melarang hal yang bukan-bukan yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi.

2. Menjauhi Banyak Tanya dan Masalah-masalah Pelik


Di dalam sebuah hadits dikatakan

Artinya : —Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya dan menyia-nyiakan harta.“

Juga diterima dari Nabi saw :

Artinya : —Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah disia-siakan, dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampaui, mengharamkan beberapa larangan maka jangan dilanggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkitl“

Dan. diterima lagi daripadanya :

Artinya : —Orang yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu.“


3. Menghindarkan Pertikaian dan Perpecahan di Dalam Agama


Firman Allah Ta‘ala:

Artinya : —Dan bahwa ini adalah umatmu yang merupakan umat yang satu.“

(Al-Mukminun: 52)

Dan firman-Nya pula:

Artinya : —Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah-belah!“ (Ali —Imran: 103)

Firman-Nya lagi :

Artinya : —Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan nanti kamu gagal dan hilang pengaruh!“ (Al-Anfal : 46)

Firman-Nya lagi

Artinya : —Orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan hidup bergolong-golongan, sekali-kali tiadalah engkau termasuk dalam golongan mereka!“ (Al-An‘am: 159)

Dan firman-Nya pula

Artinya : —Dan adalah mereka berpecah-belah.“ (Ar-Rum: 32)

Kemudian firman-Nya pula:

Artinya : —Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang-sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan! Dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat!“ (Ali ”Imran: 105)

4. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan Itu kepada Kitab dan Sunnah,


Berdasarkan firman Ilahi :

Artinya : —Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul!“

(An-Nisa‘ : 59)

Dan firman-Nya

Artinya : —Dan apa-apa yang kamu perseIisihkan tentang sesuatu, maka hukumnya kepada Allah.“ (Asy-Syura 10)

Demikian itu ialah karena soal-soal keagamaan telah dibentangkan oleh kitab Suci Al-Qur‘an, sebagai firman Allah Ta‘ala

Artinya : —Dan Kami turunkan Kitab Suci Al-Qur‘an untuk menerangkan segala sesuatu.“ (An-Nahl : 89)

Dan firman-Nya pula:

Artinya : —Tidak satu pun yang Kami lewatkan dalam Kitab.“ (Al-An‘am : 38)

Di samping Kitab, Sunnah ”amaliyah – yakni yang berupa perbuatan – menjelaskannya pula.

Firman Allah Ta‘ala:

Artinya : —Dan Kami turunkan padamu Al-Qur‘an agar kau dapat menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka“ (An-Nahl : 44)

Dan firman-Nya pula :

Artinya : —Sungguh, telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur‘an membawa kebenaran, agar kau dapat menggariskan hukum bagi manusia dengan petunjuk yang telah diberikan Allah.“ (An-Nisa‘ : 105)

Dengan demikian selesailah urusannya dan nyata tujuannya.

Firman Allah Ta‘ala:

Artinya : —Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, telah Kucukupkan ni‘mat: kurnia-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.“ (Al-Ma‘idah: 3)

Dan masalah-masalah keagamaan telah dinyatakan menurut patokan ini, dan selama masalah­masalah pokok yang akan digunakan sebagai pedoman atau hakim jelas diketahui, maka tak ada alasan buat berselisih dan tak ada faedahnya sama sekali.



Firman Allah swt : Artinya :

—Dan orang-orang yang berselisih dengan adanya Kitab, sungguh, mereka berada dalam kesesatan yang jauh!“ (Al-Baqarah: 176)

Dan firman-Nya :

Artinya: ”Tidak, demi Tuhan! Mereka belum lagi beriman, sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yang mereka perbantahkan, kemudian tidak merasa keberatan di dalam hati ,menerima pu­tusanmu, hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu.“ (An-Nisa‘ : 66)

Maka berpedoman pada patokan-patokan tersebut, majulah ke muka para sahabat dan generasi di belakang mereka Selama beberapa abad yang menghasilkan kebaikan yang telah sama-sama disaksikan, dan tiadalah dijumpai di antara mereka pertikaian, kecuali mengenai beberapa masalah yang dapat dihitung, yang sebab-musababnya ialah karena kemampuan yang berlebih-berkurang dalam memahami alasan, dan karena sebagian di antara mereka mengetahui apa yang tersembunyi bagi yang lain.

Dan ketika datang Imam-imam yang berempat, mereka ikutilah tradisi generasi yang sebelum mereka, hanya sebagian di antara mereka lebih dekat kepada Sunnah, seperti penduduk Hejaz yang di kalangan mereka banyak terdapat pendukung-pendukung Sunnah dan perawi-perawi Hadits, sementara sebagian lagi lebih dekat kepada ratio atau pikiran seperti orang-orang Irak yang tidak banyak dijumpai di kalangan mereka penghafal-penghafal hadits disebabkan jauhnya kampung halaman mereka dari tempat diturunkannya wahyu.

Imam-imam tersebut telah mencurahkan segala kemampuan yang ada pada mereka buat memperkenalkan agama ini dan membimbing manusia dengannya, dan mereka larang orang-orang bertaklid – artinya mengikut secara membabi-buta tanpa mengetahui dalil atau alasannya – kepada mereka dengan mengatakan

”Tidak seorang pun boleh mengikuti pendapat kami tanpa mengetahui alasan kami.“

Mereka tegaskan bahwa madzhab mereka adalah hadits yang sah, karena mereka tidak ingin akan diikuti begitu saja sebagai halnya yang ma‘shum, artinya Nabi saw, yang terpelihara dan kesalahan, bahkan maksud mereka tidak lain hanyalah untuk menolong manusia untuk memahami hukum­hukum Allah.

Tetapi orang-orang yang muncul sesudah mereka, kemauan mereka jadi kendor, semangat jadi patah, sebaliknya bangkit naluri meniru dan bertaklid, hingga setiap golongan di antara mereka merasa cukup dengan hanya sebuah madzhab tertentu yang akan diselidiki, diandalkan dan dipegang secara fanatik.

Mereka curahkan segala tenaga untuk membela dan mempertahankannya, sedang perkataan Imam itu dianggap sebagai firman Tuhan sendiri, dan mereka tiada berani mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah bila bertentangan dengan kesimpulan yang telah ditarik oleh Imam mereka.



Bahkan kepercayaan terhadap Imam-imam itu demikian menyolok dan berlebihan, sampai-sampai Karkhi mengatakan :

—Setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat sahabat-sahabat kita hendaklah ditakwilkan atau dihapus!“

Dan dengan bertaklid dan ta‘assub kepada madzhab-madzhab ini, hilanglah kesempatan umat untuk beroleh petunjuk dari Kitab dan Sunnah, timbul pula pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan jadilah syariat itu merupakan pendapat-pendapat fukaha dan pendapat-pendapat fukaha itulah yang dikatakan syari‘at, sedang orang yang menyalahi ucapan-ucapan fukaha itu dipandang ahli bid‘ah hingga ucapannya itu tak dapat dipercaya dan fatwanya tak boleh diterima.

Di antara faktor-faktor yang membantu tersebarnya semangat kolot ialah usaha yang dilakukan oleh para hartawan dan pihak penguasa dalam mendirikan sekolah-sekolah di mana pengajaran terbatas pada suatu atau beberapa madzhab tertentu. Hal ini adalah suatu sebab tertujunya perhatian terhadap madzhab-madzhab tersebut, dan berpalingnya minat dari benijtihad, yakni kerana mempertahankan gaji yang jadi nafkah hidup mereka.

Pada suatu kali Abu Zar‘ah bertanya pada gurunya, Al-Baiqini:

—Apa halangannya bagi Syekh Taqiyuddin as-Subki buat berijtihad padahal sudah cukup syarat­syaratnya?“

A1-Balqini tidak menyahut, lalu Abu Zar‘ah berkata: —Menurut pendapatku, bahwa enggannya melakukan itu ialah karena soal jabatan yang telah ditetapkan bagi para fukaha agar mereka mengikuti madzhab yang empat, sedang orang yang keluar daripadanya tidak berhak menjabat itu dan dilarang menjadi kadhi atau hakim, dan orang-orang tidak hendak mendengar fatwanya bahkan ia akan dituduh sebagai ahli bid‘ah.“

Mendengar itu Al-Balqini pun tersenyum dan menyetujui pendapatnya.

Dan dengan tenggelam di dalam taklid, serta tiada diperolehnya hidayah dan Kitab dan Sunnah, di samping munculnya pendapat telah tertutupnya pintu ijtihad, umat pun terjatuh ke dalam bala­bencana dan terperosok ke liang dhub yang telah diperingatkan Nabi saw. agar waspada dan berlaku hati-hati terhadapnya.

Sebagai akibatnya, umat Islam terpecah-belah ber-golong-golongan hingga mereka berselisih faham tentang hukum nikahnya seorang wanita bermadzhab Hanafi dengan pria dari madzhab Syafi‘i.

Berkatalah sebagian mereka: —Tidak sah, karena wanita itu bersikap ragu-ragu dalam keimanannya“ (Karena pengikutpengikut madzhab Hanafi membolehkan seseorang Muslim itu mengatakan: Saya beriman, Insya Allah). Sedang lainnya mengatakan itu boleh, dengan alasan meng-qiyaskannya kepada wanita golongan Ahli Zimmah.

Sebagaimana akibatnya pula tersebarnya bid‘ah dan terpendamnya panji-panji sunnah,



melempemnya gerakan akal dan terhentinya kegiatan berpikir serta hilangnya kebebasan berilmu, suatu hal menyebabkan lemahnya kepribadian umat dan lenyapnya kehidupan berkarya, serta menghambat kemajuan dan perkembangan hingga orang-orang pihak luar pun melihat celah dan lobang untuk dapat tembus memasuki jantung Islam.

Demikianlah tahun-tahun telah berlalu dan abad-abad sihih-berganti, dan secara berkala Allah membangkitkan bagi umat ini orang yang akan membaru-barui agama dan membangunkannya dari tidurnya serta memalingkannya ke arah yang benar.

Hanya biasanya baru saja bangkit, ia pun kembali kepada keadaan semula, bahkan kadang-kadang lebih parah dari itu lagi.

Dan akhirnya perundangan Islam, dengan apa Allah mengatur sehuruh kehidupan manusia umumnya, dan yang dijadikannya sebagai senjata untuk menghadapi kehidupan dunia maupun akhirat, mengalami kebobrokan yang belum ada taranya, dan terpelanting ke dalam jurang dalam hingga melayaninya hanya akan merusak hati dan akal serta membuang-buang waktu belaka, dan tidak akan bermanfa‘at bagi agama Allah serta tidak pula akan mengatur kehidupan manusia.

Di bawah ini adalah suatu contoh mengenai apa yang telah ditulis oleh ahli-ahli fikih masa belakangan: —Ibnu ”Irfah memberi batasan tentang —ijarah“ artinya menyewakan sebagai berikut: menjual manfa‘at dan apa yang tidak dapat dipindahkan, tidak berupa kapal atau hewan, tidak dapat diganti dengan imbalan yang tidak terbit daripadanya, sebagian danpadanya menjadi sebagian pula menurut perbandingannya.

Salah seorang dan murid-muridnya menyanggah batãsan tensebut karena kata-kata —sebagian“ itu menyebabkan bertele-tele hingga tak guna disebutkan.

Guru itu minta tempo selama dua hari, halu memberikan jawaban —yang tidak karuan.“

Demikianlah perundangan itu terhenti sampai di sini, sementara para ulamanya hanya menghafalkan kata-kata belaka, dan tidak mengenal kecuali embel-embel atau catatan-catatan lampiran bersama pendapat-pendapat yang dikemukakan, serta sanggahan yang diajukan berikut ketetapan-ketetapan yang diambil, hingga akhirnya Eropah pun menerkam Timur, menjotosnya dengan tangan dan menerjangnya dengan kaki.

Akibatnya, ia pun terbangun disebabkan pukulan-pukulan itu dan menoleh kiri dan kanan. Kiranya dilihatnya dirinya telah tercecer dan perpacuan hidup yang sedang bergerak maju, tetap tinggal duduk sementara kafilah terus berjalan ke muka, hingga tiba-tiba ia telah berada di lingkungan dunia baru, semuanya berisikan gerak hidup, tenaga dan karya.

Maka terkejutlah ia melihat apa yang telah terjadi, Kagum akan apa yang disaksikannya.

Dan berteriaklah orang-orang yang tiada hendak mau tahu dengan sejarah, durhaka kepada orang tua, dan mengabaikan agama serta adat-istiadat mereka: Hai orang Timur! ini dia Eropah, turutlah jalan yang ditempuhnya, contohlah ia dalam segala hal, dalam baik maupun buruknya, iman maupun kafirnya, maths atau pahitnya!



Golongan ortodok pun mengambil sikap negatif, mereka sering berbalik surut dan undur ke belakang, mengasingkan diri dan tak hendak tampil ke gelanggang ramai, hingga bagi orangorang yang tiada mengerti, hal ini menjadi bukti bahwa syari‘at Islam tiada mengikuti kemajuan dan tiada sesuai dengan zaman.

Kemudian sebagai akibat yang tak dapat dielakkan, perundangan asing yang dari luar, itulah yang menguasai kehidupan Timur, padahal bertentangan dengan agama, tradisi serta adatistiadatnya.

Dan suasana di benua Eropah itulah yang merajalela di rumah-rumah, jalan-jalan, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan dan tempat-tempat pertemuan, di mana arus dan gelombangnya semakin kuat dan mengempas ke seluruh pelosok, hingga Timur-pun hampir lupa kepada agama dan tradisinya dan hendak memutuskan hubungan di antara masa kini dengan zaman lampaunya. Untunglah bumi ini tiada sunyi-lekangnya dari orang yang mempertahankan agama Allah.

Maka bangkitlah penganjur-penganjur perbaikan mengancam orang-orang yang terpukau dengan orang-orang Barat itu: Awaslah kamu, hentikan propagandamu! Kebejatan moral yang dialami Barat dewasa ini, tak dapat tiada akan menyeret mereka ke dalam bencana, dan selama mereka tiada memperbaiki jiwa mereka dengan keimanan yang sesungguhnya, dan menggembleng mental dengan akhlak mulia, tak dapat tiada ilmu-pengetahuan mereka akan berbalik menjadi alat penghancur dan pemusnah, dan peradaban mereka akan berobah jadi neraka yang akan menelan dan menghabisi mereka.,

Firman Allah:

Artinya : ”Tidakkah kau perhatikan bagaimana tindakan Tuhanmu terhadap kaum Ad? yaitu bangsa Iram yang memiliki bangunan-bangunan tinggi, yang belum ada taranya di seluruh negeri! Begitu pun kaum Tsamud yang membelah batu-batu keras di tengah lembah untuk dibuat dan dijadikan rumah, serta Fir‘aun yang mempunyai piramida bagai pasak dunia! Mereka membuat kezaliman di muka bumi dan menimbulkan berbagai macam bencana keji. Maka Tuhan cambuk mereka dengan cemeti siksa! Sungguh Tuhanmu mengetahui segalanya!“

(Al-Fajr: 6-14)

Dan kepada orang-orang kolot itu mereka serukan:

Carilah sumber yang murni dan petunjuk yang mulia, yakni sumber dan Kitab Suci dan petunjuk Sunnah! Ambillah dan keduanya agamamu dan sampaikan berita gembira ini kepada umum.

Di sa‘at itu barulah dunia yang sedang kebingungan ini beroleh pegangan dan barulah umat manusia yang sedang menderita ini beroleh kebahagiaan.

Firman Allah:

Artinya : —Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu menjadi contoh utama bagi orang-orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan Hari Akhirat serta banyak mengingat Allah.“ (Al-Ahzab: 21)



Dan berkat kurnia Ilahi,. seruan ini mendapat sambutan dari orang-orang budiman dan diterima oleh hati-hati yang ikhlas, serta dianut oleh angkatan muda yang sedia menyerahkan untuknya barang yang paling berharga, baik harta maupun jiwa.

Maka berkenankah kiranya Allah mengizinkan cahaya-Nya buat menyinari bumi kembali? Dan apakah manusia benarbenar mempunyai keinginan akan hidup bahagia, penuh dengan keimanan dan kecintaan, kebajikan dan keadilan? Inilah dia yang diramalkan dengan pasti oleh ayat-ayat berikut:

Firman Allah:

Artinya: —Dialah yang telah mengirim Rasul-Nya membawa petunjuk dan agama yang hak, yang akan ditinggikan-Nya dan semua agama, dan cukuplah kiranya Allah itu menjadi saksi!“ (Al-Fat-h 28)

Firman Allah:

Artinya : —Akan Kami perlihatkan kepada mereka bukti-bukti Kami di seluruh pelosok begitu pun pada diri mereka sendiri hingga nyata bagi mereka bahwa Islam itu agama yang hak. Tidakkah cukup sebagai bukti bahwa Tuhanmu itu menyaksikan segala sesuatu?“ (Fushshilat: 53)